Detik-Detik Para Pemuda Sepakati Bahasa Indonesia
Jakarta - Sekitar 88 tahun silam, Soekiman Wirjosandjojo bicara ‘bahasa alien’. Orang-orang yang mendengar ucapannya, bengong, tak mengerti apa gerangan yang disampaikan. Hari itu, akhir Oktober 1928, tokoh pemuda Jong Java tersebut sedang menyampaikan pidato dalam Melayu, yang saat itu baru saja disepakati sebagai bahasa persatuan.
Melihat reaksi audiens, Soekiman terdiam sesaat, lalu melanjutkan pidatonya dengan bahasa leluhurnya, Jawa. Dia tak punya pilihan. Bahasa Belanda, yang saat itu menjadi bahasa kaum elite dan terdidik, haram digunakan selama ajang Kongres Pemuda II. Gambaran apa yang dialami Soekiman kala itu merupakan bentuk ketidaksiapan penggunaan bahasa persatuan.
"Sejak awal Belanda sudah menghina dan meremehkan ketidakmampuan banyak tokoh nasionalis menggunakan 'bahasa baru' itu," demikian diungkap RE Elson dalam bukunya, The Idea of Indonesia: A History.
Soekiman bersama tokoh muda seperti Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, dan Asaat memang terbilang nekat, bahkan radikal di zamannya. Lebih dari 17 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, mereka bersatu dan menyerukan, "Satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa," di negeri yang terjajah.
Prosesnya, tak semudah membalik telapak tangan.
"Soal Tanah Air bersama dan berbangsa satu tidak terlalu banyak dapat pembahasan. Hanya tinggal menyusun kata-kata yang wajar saja. Yang agak menyukarkan waktu itu adalah soal Bahasa," demikian tulis Prof Dr Abu Hanifah dalam Renungan tentang "Sumpah Pemuda" yang dimuat dalam Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Balai Pustaka, 1978.
Sejak Kongres Pemuda I diselenggarakan pada 1926, bahasa persatuan menjadi isu krusial yang ramai diperbincangkan. Pada 2 tahun kemudian tak hanya memilih Melayu, para tokoh pemuda sepakat menamainya sebagai Bahasa Indonesia.
3 pilihan Bahasa Pemersatu
Awalnya, ada 3 bahasa yang dipertimbangkan menjadi bahasa persatuan. Pertama, Bahasa Belanda –bahasa penjajah yang dikuasai benar oleh para elite pribumi, termasuk tokoh pemuda di masa itu. Bung Karno bahkan menyebutnya, "bahasa yang kupakai untuk berpikir."
Bahasa kedua yang dipertimbangkan adalah Jawa. Kala itu, Jawa adalah etnis terbesar yang ada di Hindia Belanda. Scott Paauw dari University of Rochester dalam makalahnya ‘One Land, One Nation, One Language: An Analysis of Indonesia's National Language Policy’ mengungkapkan, jumlah etnis Jawa mencapai 47,8 persen dari total populasi.
Bahasa terakhir yang dipertimbangkan adalah Melayu. Meski hanya dituturkan 5 persen dari populasi Nusantara saat itu, Melayu dikenal sebagai 'lingua franca' —bahasa perdagangan—mungkin sejak 2.000 tahun sebelumnya, di dua sisi selat Malaka.
Alasan Dibalik Memilih Bahasa Melayu
Ada alasan kuat mengapa para tokoh pemuda memilih Melayu, bahasa yang berasal dan tumbuh di Sumatera. Sebab, dibanding Jawa, Melayu lebih pasaran atau rendah sehingga bisa dipelajari dengan cepat. Juga karena ia memakai huruf latin yang lebih awam digunakan. Bukan ha, na, ca, ra, ka…
Bahasa itu juga membantu para pemimpin berkomunikasi lintas suku tanpa menimbulkan masalah. "Karena Melayu bahasa asli kelompok kecil, tak akan dianggap ancaman terhadap identitas suku lain, termasuk Jawa."
Banyak juga dari kalangan orang Jawa yang tak setuju Bahasa Jawa, karena dianggap terlalu feodal. Termasuk Sukarno. "Bung Karno berpendapat, bahwa sukar kelak berbicara secara demokratis. Katanya macam-macam bentuk bahasa Jawa itu menyusahkan buat bergaul secara bebas, lagi sukar dipahami mereka yang tak berasal dari Jawa," tulis Abu Hanifah.
Ngoko, Kromo, Kromo Inggil – penggunaan bahasa Jawa sangat hirarkis. "Ada anekdote dari Bung Karno," tambah Abu Hanifah. "Seorang suami yang derajat sosialnya lebih rendah dari sang istri, harus bicara kromo dan dibalas dalam bahasa ngoko oleh si istri, saat berpacaran." Maka Prof Dr Poerbotjoroko memberi nasihat agar dipakai saja Melayu-Riau, yang masih bisa berkembang seperti dulunya Bahasa Inggris.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak atau Banjarmasin atau Samarinda, atau Maluku atau Jakarta (Betawi) ataupun Kutai. Pertimbangannya, pertama, suku Melayu berasal dari Riau. Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis.
Kedua, sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya. Penetapan sebagai bahasa persatuan Indonesia menambah gengsi Bahasa Melayu, meski para tokoh masih menggunakan bahasa Belanda dalam perbincangan sehari-hari.
Pada sisi lain, pemerintah kolonial melihatnya sebagai ancaman. Mereka memutuskan menghapus mata pelajaran Bahasa Melayu di Jawa pada 1930, dan di seluruh Hindia Belanda dua tahun kemudian. Penggunaan Bahasa Indonesia mewakili makin kuatnya keyakinan atas Tanah Air. Fraksi Thamrin mulai menggunakannya dalam perdebatan Volksraad pada 1938.
Post a Comment